Jenang merupakan salah satu makanan tradisional khas Jawa yang sarat makna filosofis. Terbuat dari bahan dasar tepung beras atau tepung ketan, santan, serta gula merah atau gula putih, jenang bukan sekadar sajian kuliner, melainkan juga simbol doa, pengharapan, persatuan, dan semangat hidup masyarakat Jawa. Melalui jenang, masyarakat Jawa kerap menyampaikan doa-doa tulus serta harapan untuk keselamatan dan keberkahan hidup.

Salah satu jenis jenang yang paling bermakna secara simbolis adalah Jenang Sengkolo, juga dikenal dengan nama jenang abang putih. Nama “sengkolo” berasal dari kata morwakala, yang berarti menghilangkan bala atau nasib buruk. Tradisi penyajian Jenang Sengkolo tidak hanya terkait dengan kelezatan makanan ini, tetapi juga dengan filosofi kehidupan manusia, asal muasal, hubungan dengan orang tua, dan hubungan spiritual dengan Tuhan.
Makna dan Filosofi Jenang Sengkolo
Jenang Sengkolo bukan sekadar makanan; ia adalah wujud simbolik yang merepresentasikan perjalanan hidup manusia, mulai dari kelahiran hingga hubungan dengan alam dan Sang Pencipta. Berikut adalah filosofi yang terkandung dalam Jenang Sengkolo:
- Hubungan dengan Orang Tua
Jenang Sengkolo melambangkan hubungan manusia dengan orang tua sebagai perantara kehadiran manusia di dunia. Warna merah dan putih dalam jenang ini masing-masing merepresentasikan sosok ibu dan ayah. Merah melambangkan indung telur (ibu), sedangkan putih melambangkan sperma (ayah). - Asal Usul dan Penciptaan
Warna merah dan putih yang berpadu juga melambangkan asal mula kehidupan manusia, yakni perpaduan antara sperma dan sel telur. Jenang ini menjadi simbol kesadaran manusia akan asal-usulnya dan penghormatan terhadap proses penciptaan. - Penghormatan kepada Alam
Jenang Sengkolo mengingatkan manusia untuk tidak melupakan peran alam sebagai penopang hidup. Melalui makanan ini, manusia menunjukkan rasa syukur kepada alam yang telah menyediakan kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, dan papan. - Hubungan dengan Tuhan
Jenang Sengkolo juga melambangkan penyerahan diri kepada Tuhan, ungkapan rasa syukur, dan permohonan perlindungan dari segala bala. Hidangan ini menjadi simbol pendekatan diri kepada Tuhan melalui doa dan harapan yang tulus.
Empat Jenis Jenang Sengkolo
Secara tradisional, Jenang Sengkolo memiliki empat jenis, masing-masing dengan makna dan simbolismenya sendiri:
1. Jenang Abang (Bubur Merah)
Jenang Abang, atau dikenal juga dengan jenang retha, memiliki warna merah dari campuran gula merah. Warna merah ini melambangkan indung telur atau sosok ibu sebagai awal kehidupan manusia. Jenang ini mencerminkan penghormatan kepada ibu sebagai sumber kehidupan.
2. Jenang Putih (Bubur Putih)
Jenang Putih, yang disebut juga jenang setha, terbuat dari campuran beras dan santan, menghasilkan warna putih bersih. Warna putih ini melambangkan sperma atau peran ayah dalam proses penciptaan kehidupan. Jenang ini juga mencerminkan penghormatan kepada ayah.
3. Jenang Sengkolo (Bubur Sengkolo)
Jenis ini merupakan perpaduan antara jenang abang dan jenang putih. Biasanya, jenang abang (merah) disajikan lebih banyak, dengan tambahan jenang putih di tengahnya. Komposisi ini melambangkan kesatuan dan harmoni antara dua unsur utama kehidupan, yakni ibu dan ayah. Versi lain menyebutkan bahwa komposisinya dapat bervariasi, tergantung pada adat atau tradisi tertentu.
4. Jenang Sepuh (Bubur Sepuh)
Jenang Sepuh, yang berarti tua dalam bahasa Jawa, biasanya memiliki komposisi yang seimbang antara jenang abang dan jenang putih. Jenis ini melambangkan rasa syukur dan penghormatan kepada bumi atau alam semesta yang telah menyediakan kebutuhan manusia. Jenang Sepuh juga menjadi simbol kedewasaan dan kebijaksanaan.
Makna Spiritual dan Tradisi
Jenang Sengkolo tidak hanya disajikan dalam acara tertentu, tetapi juga memiliki peran penting dalam upacara adat Jawa. Hidangan ini sering digunakan dalam ritual tolak bala, perayaan kelahiran, atau syukuran keluarga. Penyajiannya adalah bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, penghormatan kepada leluhur, dan pengingat asal-usul manusia.
Pelestarian Tradisi
Meski sarat akan makna, keberadaan Jenang Sengkolo kini mulai jarang ditemui. Hanya sebagian kecil masyarakat Jawa yang masih melestarikan tradisi pembuatan dan penyajian jenang ini, baik dalam acara adat maupun kehidupan sehari-hari. Dengan semakin langkanya hidangan ini, penting bagi generasi muda untuk terus menjaga tradisi dan memahami nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalamnya.
Jenang Sengkolo adalah manifestasi dari kekayaan budaya Jawa yang menggabungkan unsur kuliner, spiritualitas, dan filosofi kehidupan. Lebih dari sekadar makanan, hidangan ini mengajarkan manusia untuk selalu mengingat asal-usulnya, menghormati orang tua, bersyukur kepada Tuhan, dan menjaga harmoni dengan alam. Melalui Jenang Sengkolo, masyarakat Jawa menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya kesatuan, rasa hormat, dan doa tulus dalam menjalani kehidupan.
Mari kita jaga tradisi ini agar tetap lestari dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang.