Indonesia adalah negara yang kaya akan ragam kuliner, dan setiap daerah memiliki ciri khasnya masing-masing. Di tengah keragaman kuliner tersebut, Klaten, sebuah kabupaten di Jawa Tengah, menghadirkan satu sajian unik yang membuat penasaran banyak pencinta makanan tradisional. Namanya Toring, singkatan dari Soto Garing. Makanan ini berbeda dari soto pada umumnya karena disajikan nyaris tanpa kuah, tetapi tetap menyuguhkan rasa gurih yang khas dan mengesankan. Keunikan inilah yang membuat Toring layak disorot, bukan hanya sebagai kuliner khas, tetapi juga sebagai warisan inovasi budaya lokal yang terus hidup hingga kini.

Apa Itu Toring? Mengulik Cita Rasa dan Penyajian Soto yang Tak Biasa
Jika mendengar kata soto, yang terbayang di benak kebanyakan orang adalah semangkuk hidangan berkuah dengan aroma rempah menggoda dan isian seperti daging, tauge, serta sayuran lainnya. Namun, Toring dari Klaten menabrak pakem tersebut. Sesuai namanya, soto ini disebut garing karena disajikan tanpa kuah melimpah. Hanya ada sedikit siraman kuah yang lebih berfungsi sebagai bumbu pelengkap ketimbang elemen utama.
Meskipun demikian, isian Toring tetap mengacu pada komponen soto klasik. Dalam satu porsi Toring, kita akan menemukan irisan kol segar, tauge, suwiran daging ayam, seledri cincang, dan bawang goreng yang renyah. Dengan sedikit kuah yang diteteskan ke atas isian tersebut, rasa yang dihasilkan menjadi lebih kaya, gurih, dan tidak membuat tekstur bahan-bahannya terlalu lembek. Justru, karena minim kuah, Toring menyuguhkan tekstur renyah dari sayuran dan lauk yang biasanya tertutup dalam kuah panas.
Perpaduan ini menciptakan pengalaman makan yang berbeda: tidak seberat soto biasa, tetapi tetap memuaskan dari sisi rasa. Cocok untuk disantap siapa saja yang ingin makan soto tanpa terlalu banyak cairan, misalnya di pagi hari saat perut belum sepenuhnya terisi.
Jejak Sejarah dan Inovasi di Balik Toring
Tak hanya soal rasa, Toring juga menyimpan kisah sejarah yang menarik. Hidangan ini pertama kali dikenal luas berkat keberadaan Warung Soto Bu Yati yang telah berdiri sejak tahun 1974. Berlokasi di samping Pasar Delanggu, Kabupaten Klaten, warung ini menjadi pionir dalam menyajikan soto garing yang kemudian populer di masyarakat setempat.
Warung Soto Bu Yati didirikan oleh pasangan suami istri, Sudirman dan Yati. Menurut catatan dari detikJateng, sebelum membuka usaha kuliner, Sudirman sempat mendapatkan tawaran menjadi guru PNS di Brebes. Namun, ia menolak tawaran tersebut dan memilih berwirausaha di bidang makanan bersama istrinya. Pilihan itu terbukti menjadi langkah besar dalam hidup mereka.
Tanpa alasan khusus, Sudirman mulai menyajikan soto dalam bentuk yang lebih sederhana dan praktis, dengan sedikit kuah. Tidak disangka, inovasi ini justru diterima dengan baik oleh masyarakat dan menjadi ciri khas yang membedakan warung mereka dari penjual soto lain. Seiring waktu, pelanggan pun mulai menyebut sajian ini dengan nama soto garing atau toring.
Sudirman sendiri mengakui bahwa berkat usaha ini, ia berhasil meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Dari hasil jualan soto, ia bisa membangun rumah, menyekolahkan anak-anaknya hingga ke bangku kuliah, serta mewariskan usaha yang terus hidup hingga kini.
Toring Sebagai Simbol Ketekunan dan Kreativitas Lokal
Toring bukan sekadar makanan. Di balik semangkuk soto kering ini tersimpan makna tentang ketekunan, inovasi, dan daya juang. Pilihan Sudirman untuk meninggalkan peluang kerja sebagai PNS demi fokus menjalankan bisnis keluarga menjadi bukti nyata bahwa kreativitas lokal bisa menghasilkan sesuatu yang berdampak besar.
Kini, Warung Soto Bu Yati dikelola oleh anak-anak Sudirman. Meski generasi telah berganti, semangat yang dibawa tetap sama: mempertahankan rasa autentik dan semangat inovasi khas Toring. Warung ini buka setiap hari mulai subuh hingga sekitar pukul 13.30 WIB dan selalu ramai pengunjung, terutama di akhir pekan.
Bagi yang ingin mencoba Toring di tempat aslinya, cukup datang ke daerah Delanggu, Klaten. Harga per porsinya sangat terjangkau, yaitu hanya Rp 6.000. Sementara itu, aneka lauk pendamping seperti tahu goreng, tempe goreng, baceman, hingga lento dibanderol mulai dari Rp 1.000 per buah. Kombinasi rasa dan harga ini menjadikan Toring bukan hanya unik, tetapi juga bersahabat bagi semua kalangan.
Lento dan Pelengkap Lainnya: Kelezatan Khas yang Jarang Ditemui
Salah satu hal yang membuat pengalaman makan Toring semakin istimewa adalah pelengkapnya. Tidak hanya tempe dan tahu goreng, warung ini juga menyajikan baceman dan lento. Baceman adalah lauk dari tempe atau tahu yang dimasak dengan bumbu manis gurih hingga berwarna coklat gelap. Rasanya manis dan legit, cocok dipadukan dengan Toring yang gurih ringan.
Sementara lento adalah makanan khas berbahan dasar kacang tolo atau kacang tanah yang dihaluskan, dicampur bumbu, kemudian digoreng menyerupai perkedel. Lento memiliki rasa gurih pedas dan tekstur padat renyah. Makanan ini jarang ditemui di warung makan daerah lain sehingga menjadi daya tarik tersendiri.
Pelengkap-pelengkap ini bukan hanya berfungsi sebagai tambahan rasa, tapi juga memperkaya tekstur dan gizi dalam satu porsi makan. Perpaduan rasa gurih, renyah, dan sedikit manis dari baceman menjadikan pengalaman menyantap Toring menjadi semakin berkesan.
Toring dalam Lanskap Kuliner Tradisional Indonesia
Kehadiran Toring memberikan warna baru dalam peta kuliner tradisional Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Jika selama ini soto dikenal sebagai makanan berkuah hangat yang cocok disantap di musim hujan atau pagi hari, maka Toring adalah alternatif segar yang cocok disantap kapan pun, bahkan di cuaca panas sekalipun.
Hal ini juga menunjukkan bahwa kuliner Nusantara memiliki fleksibilitas dan ruang untuk berinovasi tanpa harus meninggalkan akar tradisi. Dengan bahan dasar yang sama, cara penyajian berbeda, dan cita rasa yang tetap autentik, Toring adalah contoh nyata bahwa makanan tradisional pun bisa mengikuti selera dan kebutuhan zaman.
Tak heran jika kuliner seperti Toring semakin diminati oleh generasi muda yang mencari pengalaman kuliner otentik tapi berbeda. Bahkan, dalam konteks modern, soto garing ini bisa dengan mudah dikembangkan ke bentuk kemasan siap saji atau menjadi inspirasi menu di kafe-kafe yang mengusung konsep makanan tradisional dengan sentuhan modern.
Promosi Wisata Kuliner Klaten Melalui Toring
Dengan segala keunikan dan cerita di baliknya, Toring memiliki potensi besar sebagai daya tarik wisata kuliner di Klaten. Pemerintah daerah maupun pelaku industri pariwisata bisa menjadikan Toring sebagai ikon kuliner yang ditonjolkan dalam berbagai kegiatan promosi wisata lokal.
Misalnya, festival kuliner tahunan, lomba memasak makanan khas daerah, atau tur kuliner yang mengajak wisatawan mencicipi makanan khas langsung dari tempat asalnya. Warung Soto Bu Yati bisa menjadi salah satu destinasi unggulan dalam tur semacam ini, lengkap dengan cerita sejarah yang bisa dibagikan kepada pengunjung.
Lebih dari sekadar makanan, Toring adalah cerminan dari kekayaan budaya lokal dan semangat wirausaha rakyat yang patut diapresiasi. Dalam dunia kuliner yang semakin kompetitif, makanan dengan kisah dan karakter kuat seperti Toring justru memiliki nilai jual tinggi dan daya tarik berkelanjutan.
Toring Bukan Hanya Soal Soto Tanpa Kuah, Tapi Warisan Rasa dan Semangat Hidup
Toring adalah bukti bahwa inovasi bisa lahir dari tempat yang sederhana. Berawal dari keputusan sederhana Sudirman dan istrinya untuk menjual soto dengan kuah minimal, kini Toring menjadi ikon kuliner Klaten yang terus diminati lintas generasi. Dengan harga terjangkau, rasa autentik, dan cerita perjuangan di baliknya, Toring bukan hanya menyajikan kelezatan, tetapi juga menggugah rasa hormat terhadap budaya dan ketekunan lokal.
Bagi siapa pun yang berkunjung ke Klaten, mencicipi Toring di Warung Soto Bu Yati bukan hanya tentang makan. Ini adalah perjalanan rasa, kisah hidup, dan pelajaran tentang arti konsistensi dalam mencintai apa yang dikerjakan. Maka dari itu, mari lestarikan kuliner seperti Toring, agar generasi masa depan pun bisa mengenal, menikmati, dan belajar dari warisan rasa ini.