Magelang, sebuah kota yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, merupakan salah satu kota tertua di Indonesia. Meskipun mengalami modernisasi, Magelang berhasil mempertahankan kekayaan budaya dan adat yang telah ada sejak berabad-abad lalu. Keberagaman budaya yang ada di Magelang tidak hanya tercermin dari berbagai situs sejarah yang tersebar, tetapi juga melalui berbagai ritual dan tradisi yang tetap dipertahankan oleh masyarakat hingga kini. Berikut ini adalah lima adat unik di Magelang yang masih digelar oleh warga setempat, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

1. Sungkem Tlompak: Doa dan Syukur di Lereng Gunung Merbabu
Sungkem Tlompak merupakan tradisi yang digelar oleh warga Desa Banyusidi, sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Merbabu. Tradisi ini dilaksanakan setiap perayaan Idul Fitri, dengan tujuan untuk mengirimkan doa dan memohon keselamatan kepada Yang Mahakuasa.
Acara dimulai dengan penyajian tumpeng beserta lauk pauk, serta sesajen berupa kembang, sayuran, dan buah-buahan. Warga yang terlibat dalam acara ini mengenakan kostum tradisional, termasuk kostum penari topeng dan Gatotkaca. Proses perayaan kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan menuju sumber mata air Tlompak, yang dikenal sebagai tempat suci bagi masyarakat setempat. Arak-arakan tersebut diiringi dengan tarian topeng, geculan bocah, dan gupolo gunung. Sesampainya di sumber mata air, sesepuh desa memimpin doa bersama sebagai simbol rasa syukur dan harapan akan keselamatan.
2. Sedekah Candi Gunung Wukir: Menghormati Prasasti Tertua di Indonesia
Candi Gunung Wukir, yang terletak di Magelang, bukan hanya dikenal sebagai situs bersejarah, tetapi juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual Sedekah Candi Gunung Wukir. Ritual ini dilakukan setiap tahun oleh warga sekitar untuk mengungkapkan rasa syukur dan mengenalkan prasasti tertua di Indonesia yang ditemukan di situs tersebut.
Upacara dimulai dengan arak-arakan keliling desa. Meskipun arak-arakan tersebut bisa diikuti dengan menggunakan sepeda motor, suasana tetap meriah dengan kehadiran warga yang mengenakan pakaian adat. Sesampainya di lokasi upacara, para peserta akan berhenti di tempat yang telah disiapkan, di mana terdapat gunungan tumpeng beserta lauknya. Ritual ini diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh ketua panitia dan dihadiri oleh tamu undangan yang turut serta dalam perayaan tersebut.
3. Ruwat Bumi di Gunung Tidar: Ritual Penyucian Tanah Jawa
Gunung Tidar, yang dikenal sebagai “pakunya tanah Jawa,” terletak tepat di tengah Kota Magelang. Meskipun Gunung Tidar memiliki ketinggian hanya sekitar 503 mdpl, gunung ini menyimpan makna spiritual yang dalam bagi masyarakat Magelang. Di puncak Gunung Tidar, setiap tahunnya diadakan ritual ruwat bumi, sebuah upacara untuk memohon berkah dan keselamatan bagi seluruh warga.
Ritual ini melibatkan masyarakat setempat yang mengenakan pakaian tradisional. Setiap perwakilan desa atau kelurahan membawa tumpeng beserta lauk-pauk yang menjadi simbol rasa syukur. Upacara tersebut diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh, dengan harapan tanah Jawa, khususnya Magelang, selalu diberkahi dan dilindungi.
4. Ritual Pradaksina di Candi Borobudur: Menghormati Warisan Budaya Dunia
Candi Borobudur, yang terletak tidak jauh dari Magelang, merupakan salah satu situs warisan dunia yang sangat penting. Di candi ini, setiap tahunnya dilaksanakan ritual pradaksina, yang dilakukan oleh para biksu pada saat matahari terbit. Ritual ini melibatkan para biksu yang mengenakan topi merah berbentuk jambul, sambil berputar mengelilingi candi sebanyak tiga kali.
Selain berputar mengelilingi candi, sebagian biksu juga meniup terompet dan kerang sebagai bagian dari prosesi. Mereka juga membawa bunga teratai berbahan kertas yang berisi lilin yang menyala. Setelah ritual selesai, bunga teratai tersebut diletakkan di tepi candi sebagai simbol penghormatan kepada Sang Buddha. Ritual ini tidak hanya sebagai ibadah, tetapi juga sebagai cara untuk menjaga kelestarian budaya dan warisan sejarah Indonesia.
5. Nikah Tembakau: Simbol Syukur atas Hasil Bumi
Nikah Tembakau adalah tradisi unik yang digelar oleh warga Magelang untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil pertanian, khususnya tembakau. Dalam ritual ini, tembakau dianggap memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Magelang. Oleh karena itu, tembakau pun “dinikahkan” dalam sebuah upacara adat.
Ritual dimulai dengan kirab tumpeng hasil bumi, diiringi oleh pasangan pengantin tembakau yang bernama Kyai Pulung Seto dan Nyai Srintil. Setelah itu, mereka membawa tumpeng dan hasil bumi menuju sendang Piwakan, sebuah tempat yang dianggap keramat. Setibanya di sendang, tokoh masyarakat memimpin doa bersama sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Magelang bukan hanya terkenal akan kekayaan sejarah dan alamnya, tetapi juga karena keberagaman adat dan tradisinya yang tetap hidup hingga kini. Meskipun modernisasi terus berkembang, adat-istiadat tersebut tetap dipertahankan sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan kepada leluhur. Tradisi seperti Sungkem Tlompak, Sedekah Candi Gunung Wukir, Ruwat Bumi di Gunung Tidar, Ritual Pradaksina di Candi Borobudur, dan Nikah Tembakau adalah bukti nyata bahwa budaya Magelang tetap terjaga dan dilestarikan oleh masyarakatnya.
Dengan terus melestarikan adat dan tradisi tersebut, Magelang tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga memperkaya keberagaman budaya Indonesia yang sangat kaya dan unik. Bagi Anda yang ingin menyaksikan langsung keberagaman budaya ini, Magelang adalah tempat yang tepat untuk menghabiskan waktu dan belajar lebih banyak tentang kebudayaan lokal yang tak ternilai harganya.