Hubungi Kami

Kuliner Legendaris Gempol Pleret, Kini Kian Terlupakan?

Aroma Tradisi yang Kian Pudar

Di tengah gemuruh tren kuliner modern yang merajalela, sebuah minuman tradisional dari Jawa bernama Gempol Pleret tengah menghadapi ujian berat untuk tetap bertahan. Minuman berbahan dasar tepung beras dan gula aren ini menyimpan cerita panjang, jejak budaya, dan memori kolektif masyarakat Jawa sejak era Mataram Islam. Namun kini, Gempol Pleret semakin sulit ditemukan, bahkan oleh warga asli daerah asalnya.

@unimma_id

Artikel ini akan membedah lebih dalam asal-usul, makna budaya, variasi, tantangan pelestarian, hingga upaya untuk membangkitkan kembali eksistensinya di tengah arus globalisasi kuliner.

1. Jejak Sejarah Gempol Pleret: Dari Keraton ke Jalanan

Asal Usul dan Referensi Historis

Gempol Pleret bukanlah minuman biasa. Ia tercatat dalam Serat Centhini, naskah sastra klasik Jawa yang ditulis pada 1814 oleh Raden Ngabehi Soeradipoera atas perintah Pakubuwono V. Serat ini dikenal sebagai ensiklopedia budaya Jawa, mencatat tidak hanya adat istiadat, namun juga kuliner.

Dalam Serat Centhini, Gempol Pleret disebut sebagai satu dari 48 hidangan populer yang dikonsumsi kalangan bangsawan dan rakyat jelata. Fakta ini menegaskan bahwa Gempol Pleret adalah bagian dari kehidupan sosial-budaya masyarakat Jawa sejak berabad-abad silam.

Simbolisme dalam Nama

Nama “gempol” berasal dari kata dalam bahasa Jawa yang berarti ‘mengepal’ atau ‘menekan dengan ibu jari’, sedangkan “pleret” berarti ‘pipih’ atau ‘ditekan’. Dua kata ini menggambarkan teknik dasar dalam pembuatannya. Filosofinya sederhana namun dalam: menciptakan harmoni antara tekstur gurih dan manis, antara bentuk bulat dan lembaran tipis.

2. Asal Daerah: Polemik Asal-usul Kuliner Tradisional

Seperti banyak kuliner Nusantara lainnya, asal-usul Gempol Pleret menjadi perdebatan. Beberapa menyebut Solo dan Jepara, yang lain menunjuk Polokarto Sukoharjo, Blora, Kudus, bahkan Klaten sebagai titik awal.

Perbedaan ini bukan konflik, melainkan refleksi dari kekayaan ragam lokal. Tiap daerah menghadirkan sentuhan khas dalam resep, cara penyajian, bahkan bahan-bahan pelengkapnya. Hal ini menjadikan Gempol Pleret bukan hanya milik satu tempat, tapi warisan bersama masyarakat Jawa.

3. Komponen dan Cita Rasa: Sederhana Namun Kaya Makna

Komposisi Utama

Gempol Pleret terdiri dari dua komponen:

  • Gempol: Bola kecil dari adonan tepung beras dan tepung tapioka, direbus hingga kenyal. Teksturnya padat namun lembut, dengan rasa gurih alami.

  • Pleret: Lembaran tipis dari adonan serupa, biasanya memiliki rasa manis. Beberapa versi juga mewarnainya agar menarik secara visual.

Pelengkap

Biasanya Gempol Pleret disajikan bersama:

  • Cendol

  • Santan

  • Sirup gula merah (gula aren cair)

  • Es batu

Perpaduan rasa gurih, manis, dan segar menciptakan pengalaman unik, menjadikannya favorit saat cuaca panas, atau sebagai hidangan pembuka di acara adat.

4. Ragam Daerah: Gempol Pleret di Mata Lokal

Berikut adalah beberapa variasi daerah yang menunjukkan kreativitas masyarakat dalam mengadaptasi resep ini:

1. Jepara dan Kudus

  • Pleret berwarna-warni (merah muda, hijau, kuning) dari pewarna alami seperti daun suji dan bunga telang.

  • Sirup manis atau gula pasir sebagai pemanis utama.

2. Solo

  • Lebih dominan rasa gurih pada gempol.

  • Disajikan dengan kuah gula aren yang lebih kental, memberi cita rasa yang dalam.

3. Blitar

  • Gempol berbentuk seperti mangkuk kecil dengan cekungan di tengah.

  • Warna mencolok dan tekstur agak kenyal.

4. Semarang

  • Penyajian menggunakan gula donat (gula karamel padat).

  • Kuah lebih encer dengan rasa yang ringan.

5. Jogja

  • Variasi dikenal dengan nama “Jenang Pleret”.

  • Disajikan bersama jenang sumsum atau jenang grendul.

5. Tradisi dan Peran Sosial

Gempol Pleret tidak hanya hadir di pasar atau warung kaki lima, tetapi juga menjadi bagian dari:

  • Upacara adat: Kenduri, tingkeban, atau nyadran sering menyertakan Gempol Pleret sebagai sajian.

  • Simbol kesederhanaan: Hidangan rakyat yang menunjukkan keakraban, kebersamaan, dan kebahagiaan sederhana.

  • Nostalgia masa kecil: Banyak generasi tua mengenangnya sebagai sajian masa lalu yang kini sulit ditemui.

6. Yu Mami: Penjaga Resep Otentik dari Delanggu

Di tengah arus deras modernisasi, sosok Martin Sagita Prihanta dan istrinya, Yu Mami, menjadi penyelamat tradisi. Mereka membuka lapak kecil di depan SMPN 1 Delanggu, Klaten, menjajakan Gempol Pleret dengan resep yang diwariskan turun-temurun.

“Kami menjaga rasa dan cara pembuatannya tetap seperti dulu. Tepung berasnya kami rendam sendiri, gula arennya harus dari pengrajin tertentu,” ujar Martin.

Pasangan ini menghadapi tantangan besar:

  • Harga bahan baku yang naik

  • Ketersediaan bahan alami yang kian langka

  • Selera konsumen yang berubah

Namun, mereka tetap teguh. Bagi Martin, Gempol Pleret bukan sekadar jualan. Ini adalah warisan budaya yang harus dijaga.

7. Tantangan Era Modern: Antara Boba dan Budaya

Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia dilanda tren minuman modern seperti bubble tea, cheese tea, dan kopi susu kekinian. Promosi besar-besaran, kemasan menarik, serta dukungan dari media sosial membuat minuman tradisional seperti Gempol Pleret tenggelam dari radar generasi muda.

Beberapa alasan mengapa Gempol Pleret mulai dilupakan:

  • Kurangnya promosi digital

  • Tidak adanya kemasan modern atau estetika Instagramable

  • Persepsi “kuno” atau “jadul”

  • Minimnya dukungan dari pemerintah daerah atau komunitas kuliner

8. Upaya Pelestarian: Haruskah Kita Diam Saja?

Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin Gempol Pleret akan punah seperti banyak kuliner tradisional lainnya. Namun, harapan belum mati. Beberapa upaya bisa dan telah dilakukan:

1. Digitalisasi dan Media Sosial

Konten kreator kuliner bisa membantu mempopulerkan Gempol Pleret melalui:

  • Video tutorial pembuatan

  • Review kuliner khas daerah

  • Tantangan #GempolPleretChallenge

2. Inovasi Rasa dan Kemasan

Menggabungkan cita rasa lama dengan sentuhan baru, misalnya:

  • Es Gempol Pleret latte

  • Gempol Pleret dengan topping keju atau buah

  • Kemasan botol atau cup yang menarik

3. Festival Kuliner Tradisional

Pemerintah dan komunitas kuliner dapat mengadakan event tahunan bertema “Jajanan Tempo Doeloe” yang mendekatkan generasi muda dengan makanan warisan.

4. Kolaborasi dengan UMKM dan Café

Café-café lokal bisa menambahkan Gempol Pleret dalam menu seasonal mereka, memberi kesempatan publik untuk mencicipi ulang tanpa kehilangan suasana modern.

9. Menjaga Warisan: Tanggung Jawab Bersama

Pelestarian kuliner seperti Gempol Pleret bukan hanya tugas penjual atau pemerintah, tapi kita semua:

  • Sebagai konsumen: Kita bisa memilih membeli makanan tradisional lebih sering.

  • Sebagai pendidik: Guru dan orang tua bisa mengenalkan makanan ini ke anak-anak.

  • Sebagai pengusaha: Bisa membuat bisnis kuliner yang mengangkat kembali warisan nusantara.

Masih Adakah Harapan untuk Gempol Pleret?

Dalam dunia yang bergerak cepat, kadang yang paling sederhana justru paling sulit bertahan. Gempol Pleret adalah simbol kesederhanaan, kreativitas, dan kekayaan budaya Jawa. Jika kita tidak bertindak sekarang, bukan tak mungkin minuman legendaris ini hanya akan tinggal sebagai catatan kaki dalam buku sejarah.

Namun selama masih ada orang-orang seperti Yu Mami, dan konsumen yang peduli terhadap budaya, harapan itu tetap hidup. Maka, di tengah derasnya tren global, mari kita luangkan waktu untuk menyeruput segelas Gempol Pleret – dan menyelamatkan warisan bangsa.

unimma

Leave a Reply

  • https://ssg.streamingmurah.com:8048
  • Copyright ©2025 by PT. Radio Unimma. All Rights Reserved
  • http://45.64.97.82:8048
  • Copyright ©2025 by unimmafm. All Rights Reserved
  • http://45.64.97.82:8048/stream
  • Copyright ©2025 by unimmafm All Rights Reserved