Mengutip Situs Budaya Monumen Pers Nasional
Monumen Pers Nasional dibangun sekitar 1918 atas perintah Mangkunegara VII, Pangeran Surakarta, sebagai balai perkumpulan dan ruang pertemuan. Bangunan ini dulunya bernama Societeit Sasana Soeka dan dirancang oleh Abu Kasan Atmodirono. Pada 1933, Sarsito Mangunkusumo dan sejumlah insinyur lainnya bertemu di gedung ini dan merintis Solosche Radio Vereeniging, radio publik pertama yang dioperasikan pribumi Indonesia. Tiga belas tahun kemudian, pada 9 Februari 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di gedung ini.

Yayasan ini diresmikan tanggal 22 Mei 1956 dan sebagian besar koleksi museumnya disumbangkan oleh Soedarjo Tjokrosisworo. Nama Monumen Pers Nasional ditetapkan pada 1973 dan lahannya disumbangkan ke pemerintah tahun 1977. Museum ini resmi dibuka tanggal 9 Februari 1978 setelah dilengkapi beberapa bangunan.
Kompleks Monumen Pers berada di depan bundaran pertemuan Jl. Gajah Mada dan Jl. Yosodipuro, Solo. Di depan gedung terdapat papan baca surat kabar Solopos, Suara Merdeka, dan Republika yang bisa dibaca gratis.
Diorama pertama adalah awal kemunculan pewartaan di zaman nabi. Diorama kedua dan ketiga, mengenai penyebaran informasi di zaman pendudukan Belanda dan Jepang. Selanjutnya detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, masa-masa demokrasi terpimpin dan liberal, orde baru yang bersambung pada kebebasan pers pasca reformasi.
Selain diorama, terdapat patung dada sepuluh tokoh pers nasional. Bergeser ke ruang di sebelahnya, terdapat peralatan pemancar yang dipakai pada siaran langsung terjauh pada 1936, yaitu dari Solo ke Den Haag. Pemancar ini disebut Radio Kambing karena pernah disembunyikan pejuang RRI dan TNI di kandang kambing Desa Balong, lereng Lawu pada aksi militer Belanda II 1948-1949
Sumber : Pariwisata Solo, Surakarta YAU