![](https://unimmafm.com/wp-content/uploads/2022/03/tt.jpg)
Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer adalah sebuah mahakarya sastra Indonesia yang telah lama menjadi bacaan wajib bagi pencinta literatur. Buku ini, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1980, mengisahkan perjuangan seorang pribumi bernama Minke dalam konteks penjajahan Belanda. Dengan beragam isu sosial dan politik, buku ini menjadi cermin dari perjuangan individu melawan ketidakadilan. Kini, setelah lebih dari tiga puluh sembilan tahun sejak publikasinya, kisah Minke kembali hadir melalui layar lebar dalam adaptasi film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Adaptasi ini tentu menarik perhatian, mengingat pergeseran medium dari buku ke film sering kali membawa tantangan tersendiri.
![@unimma_id](https://unimmafm.com/wp-content/uploads/2022/04/unimma_id.jpg)
Kisah Utama dan Elemen Adaptasi![](https://unimmafm.com/wp-content/uploads/2022/03/tt1.jpg)
Di dalam Bumi Manusia, Minke adalah seorang pemuda pribumi yang belajar di Hogere Burger School (HBS), sekolah menengah yang hanya diakses oleh kaum Belanda dan priyayi. Di masa remajanya, Minke jatuh cinta pada Annelies, putri Nyai Ontosoroh, istri simpanan Herman Mellema. Kisah cinta mereka tumbuh di tengah ketidakadilan dan permasalahan sosial yang menghimpit masyarakat kolonial.
Namun, Bumi Manusia bukan hanya tentang kisah cinta. Cerita ini juga mengangkat perjuangan Nyai Ontosoroh yang awalnya dipandang rendah oleh masyarakat, namun berhasil membuktikan kemampuannya sebagai seorang pengusaha ulung. Dalam perjalanan cerita, Minke mengalami perubahan dalam kesadaran nasionalisme dan kemanusiaan melalui interaksi dengan berbagai karakter yang memperkaya perspektifnya.
Penerjemahan dari Buku ke Film
Proses adaptasi Bumi Manusia ke dalam film tidaklah sederhana. Hanung Bramantyo dan penulis naskah Salman Aristo melakukan usaha besar untuk menyajikan cerita yang tetap setia pada sumber aslinya namun juga menarik bagi audiens modern. Film ini berusaha menghadirkan momen-momen kunci seperti pertemuan antara Minke dan Annelies, kekaguman Minke terhadap Nyai Ontosoroh, serta perlawanan terhadap diskriminasi di pengadilan kulit putih.
Meski demikian, seperti biasa dalam adaptasi film, beberapa elemen dari buku harus disederhanakan atau dihilangkan untuk menyesuaikan dengan durasi dan format visual. Misalnya, percakapan mendalam antara Minke dan Jean Marais, serta perdebatan filosofisnya dengan Sarah dan Miriam de la Croix, kurang mendapatkan perhatian yang sepadan. Elemen-elemen ini penting dalam menggambarkan pergolakan batin Minke yang tidak sepenuhnya tereksplorasi dalam film.
Karakter dan Peran
Iqbaal Ramadhan yang memerankan Minke, ditujukan untuk menarik minat penonton milenial. Meskipun telah menjalani pelatihan yang intensif untuk mendalami peran sebagai Minke, kritik muncul terkait kemampuannya dalam menyampaikan emosi mendalam karakter ini. Beberapa adegan menunjukkan bahwa Iqbaal belum sepenuhnya menghidupkan gejolak batin Minke seperti yang diharapkan.
Sebaliknya, Mawar Eva de Jongh sebagai Annelies berhasil membawa karakter ini dengan baik, meskipun karakter kekanak-kanakan dan manjanya belum sepenuhnya tereksplorasi. Sha Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh memberikan penampilan yang sangat memukau, terutama dalam adegan pengadilan kulit putih yang menggambarkan ketidakadilan sosial secara kuat. Namun, beberapa aspek dari kehidupan Nyai Ontosoroh, seperti hubungan konflik dengan orang tuanya, tidak diungkap secara mendalam.
Jerome Kurnia sebagai Robert Suurhof juga layak mendapat pujian untuk penggambaran yang autentik sebagai orang Eropa dengan kemampuan bahasa Belanda yang memadai. Kelly Tandiono sebagai Maiko memberikan warna dalam film, meski latar belakang karakter Maiko tidak dieksplorasi secara mendalam.
Sinematografi dan Teknik
Dari segi sinematografi, Hanung Bramantyo berusaha keras untuk menciptakan suasana masa kolonialisme yang autentik. Adegan pembuka yang menggunakan arsip asli adalah usaha yang sangat menghargai sejarah. Namun, ada beberapa catatan teknis seperti pemilihan warna yang terlalu mencolok dan efek CGI yang terasa kurang halus, terutama dalam adegan kapal pesiar.
Adaptasi film Bumi Manusia merupakan usaha besar untuk membawa karya sastra yang mendalam ke dalam bentuk visual. Meskipun tidak semua elemen dari buku dapat sepenuhnya ditransfer ke film, terutama dalam hal penggambaran gejolak batin karakter dan kompleksitas sosial, film ini tetap berhasil menghadirkan kisah yang relevan dengan audiens modern. Dengan penampilan yang kuat dari beberapa aktor dan usaha untuk tetap setia pada sejarah, film ini memberikan pandangan baru tentang karya klasik Pramoedya Ananta Toer.