Film Onde Mande! Menampilkan Budaya Minangkabau dengan Autentisitas dan Kehangatan
Membuat film dengan aroma kedaerahan punya tanggung jawab yang cukup berat. Rujukan budaya yang diadaptasi dalam cerita wajib dibangun seoptimal mungkin bila tak mau bikin runyam seluruh ide dari kreatornya. Film Onde Mande!, yang kental dengan latar budaya Minangkabau, adalah salah satu contoh sukses dari upaya tersebut. Sang sutradara, Paul Fauzan Agusta, jelas tidak ingin menyia-nyiakan hak istimewa yang ia miliki.
Autentisitas Budaya dalam Cerita
Sebagai putra keturunan Desa Sigiran, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Paul memanfaatkan segala memori yang ia miliki untuk diterapkan dalam cerita Onde Mande!. Ketika pertama kali diperkenalkan ke publik, film ini menawarkan gaya yang mirip dengan Ngeri-ngeri Sedap (2021) karya sutradara Bene Dion. Ensemble cast, sinematografi jempolan, serta referensi kultural yang gemilang menjadi kunci utama dalam kokohnya kerangka kisah kedua film tersebut.
Kehidupan Minangkabau dalam Adegan
Di Onde Mande!, Paul Agusta dengan cerdas meramu detail-detail kecil sehingga menciptakan adegan khas Minangkabau dengan cukup akurat. Dialog yang terbangun antara dua aktor senior, Jajang C. Noer dan Jose Rizal Manua, menjadi tulang sendi dari plot yang dirangkai. Peran Ni Ta (Jajang C. Noer) dan Da Am (Jose Rizal Manua) sebagai pasangan suami istri pemilik lapau menggambarkan dengan akurat bagaimana pola sosialisasi kolektivis masih terjadi di ranah Minangkabau.
Adegan-adegan solid dari Jajang dan Jose Rizal menguatkan pondasi cerita yang dialihkan kepada dua pemeran belia, Emir Mahira dan Shenina Cinnamon. Menariknya, hampir seluruh pemain yang disebutkan di atas bukanlah penutur aktif bahasa Minang dan tidak banyak melibatkan unsur kebudayaan Minangkabau dalam kesehariannya. Jajang C. Noer bahkan mengaku kesulitan menerapkan dialog bahasa Minang dan harus menghafalkan kata per kata demi mendapatkan pelafalan dan dialek yang pas.
Kekayaan Detail Budaya
Salah satu detail kecil yang tidak lupa disisipkan oleh Paul adalah idiom-idiom serta gelagat khas Minangkabau dalam menghadapi berbagai situasi. Gestur kecil yang melibatkan dialog antara orang tua dan anak di ranah Minang adalah salah satu pesan yang disentil oleh Paul selaku sutradara dan penulis naskah. Dalam beberapa adegan, Paul menguatkan pegangan klasik Minang berbunyi “adaik basandi syarak / syarak basandi kitabullah (adat bersendi syariah / syariah bersendi kitab Allah)” tanpa harus mengucapkan pepatah tersebut secara eksplisit.
Adegan-adegan seperti milik karakter Huda (Shahabi Sakri), Hadi (Ajil Ditto), dan sang ayah Haji Ilyas (Yusril Katil) membawa warna tersendiri dalam menerapkan ‘ideologi’ ala Minangkabau itu.
Komedi dan Kehangatan
Formula jitu ini tentu menguatkan kesan bahwa Onde Mande! adalah film yang ramah tonton. Meskipun memiliki premis yang cenderung ringan, Paul mampu menjahitnya dengan cukup rapi. Tak mengherankan jika nantinya film ini akan meninggalkan ragam persepsi unik dari berbagai kalangan. Kesan geli dan bergidik yang semula dikhawatirkan nyaris tidak hadir sepanjang film ini diputar selama 90 menit.
Paul berhasil mematahkan anggapan pesimis mengenai penyisipan budaya dan bahasa Minangkabau yang compang-camping di film ini. Meskipun sempat kewalahan ketika membangun cerita di awal, Onde Mande! akan meninggalkan kesan hangat yang bakal tersisa hingga Anda selesai menonton. Sisipan komedi renyah yang sesekali dihadirkan oleh Paul memberikan observasi penting yang selama ini tak terekam.
Melalui kisah yang disajikan, Onde Mande! tidak hanya memberikan hiburan semata, tetapi juga memberikan wawasan dan pemahaman tentang kehidupan dan nilai-nilai dalam budaya Minangkabau. Sebagai sebuah film populis, menyaksikan Onde Mande! akan membuat Anda tersadar jika Minangkabau bukan hanya tentang tawar menawar dan basilek lidah. Film ini berhasil membawa penonton masuk ke dalam budaya Minangkabau yang kuat tapi tidak memaksa, sehingga momen gegar budaya bakal sukar terjadi.