Di Indonesia, terutama di Jawa, tradisi dan upacara keagamaan sering kali memiliki nilai historis dan budaya yang mendalam. Salah satunya adalah upacara yang masih berlangsung hingga kini di Kabupaten Demak, Jawa Tengah: Sekaten, Grebeg Besar, dan Syawalan. Ketiga upacara ini tidak hanya memperingati peristiwa penting dalam sejarah Islam, tetapi juga menjadi simbol kekuatan budaya lokal yang terus dilestarikan. Berikut adalah ulasan lebih mendalam mengenai upacara-upacara tersebut.

1. Upacara Sekaten: Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Upacara Sekaten merupakan salah satu tradisi yang berasal dari masa Kerajaan Demak dan hingga kini terus dirayakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada bulan Maulud. Konon, kata “Sekaten” berasal dari kata shahadatain, yaitu pengakuan iman dalam Islam yang mengucapkan “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya”.
Menurut sejarah, upacara ini pertama kali diperkenalkan oleh Raden Patah, raja pertama Kerajaan Demak, pada abad ke-16. Saat itu, banyak masyarakat Jawa yang beralih agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Sejak saat itu, Sekaten menjadi tradisi tahunan yang terus dilanjutkan oleh para sultan berikutnya dan menjadi lambang keberanian serta kekuatan pendiri Kerajaan Mataram.
Selain menjadi ajang perayaan keagamaan, Sekaten juga dikenal dengan berbagai kegiatan seperti pasar malam dan pagelaran seni yang melibatkan masyarakat luas. Acara ini memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk mendalami lebih jauh tentang ajaran agama Islam sekaligus merayakan kelahiran Nabi Muhammad dengan sukacita.
2. Upacara Grebeg Besar: Peringatan Idul Adha dengan Makna Kehidupan dan Keberkahan
Upacara Grebeg Besar adalah salah satu tradisi penting yang tidak dapat dipisahkan dari kompleks Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga. Grebeg Besar dirayakan setiap tahun pada tanggal 10 Zulhijah, yaitu hari raya Idul Adha, yang bertepatan dengan waktu pelaksanaan ibadah haji di Makkah.
Proses persiapan acara dimulai dengan pasar malam yang digelar di alun-alun Demak seminggu sebelum puncak acara. Pada tanggal 9 Zulhijah, iring-iringan tumpeng sembilan sebagai simbol Wali Sanga, yang terdiri dari 9 tumpeng, diarak dari pendopo kabupaten menuju Masjid Agung Demak. Prosesi ini diiringi dengan tabuhan rebana dan salawatan, menciptakan suasana yang khusyuk dan penuh makna.
Tumpeng sembilan ini dibagikan kepada masyarakat yang hadir, sebagai simbol berkah dan keselamatan bagi warga Demak. Masyarakat yang mengikuti prosesi ini meyakini bahwa mendapatkan bagian dari tumpeng tersebut akan membawa berkah. Selain itu, di Kadilangu, keturunan Sunan Kalijaga juga mengadakan acara doa untuk leluhur mereka, yang diakhiri dengan pembagian nasi ancak, yaitu nasi yang ditempatkan dalam wadah dari pelepah pisang dan bambu, yang merupakan simbol pengharapan.
Puncak acara Grebeg Besar dimulai setelah Sholat Idul Adha dan pemotongan hewan kurban. Prajurit Pateng Buluhan mengawal prosesi iring-iringan menuju kompleks makam Sunan Kalijaga. Di sini, pusaka milik Sunan Kalijaga, yaitu baju Antakusuma dan keris Kyai Crubug, dicuci dalam upacara yang disebut dengan pencucian pusaka. Minyak yang digunakan untuk mencuci pusaka dianggap membawa berkah, sehingga banyak pengunjung yang berusaha untuk bersentuhan dengan sesepuh yang memandikan pusaka tersebut.
3. Upacara Syawalan: Sedekah Laut dan Tradisi Masyarakat Demak
Selain upacara Sekaten dan Grebeg Besar, upacara Syawalan juga menjadi bagian dari tradisi masyarakat Demak, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar pantai. Upacara Syawalan ini diadakan pada tanggal 7 Syawal, tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri, dan berlokasi di sekitar muara Sungai Tuntang, dekat dengan kawasan Demak.
Upacara ini berfokus pada sedekah laut, yang merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil tangkapan laut yang melimpah. Masyarakat setempat meyakini bahwa dengan melakukan upacara ini, mereka akan mendapatkan berkah dan perlindungan dari bahaya laut. Acara ini tidak sebesar Grebeg Besar, namun tetap menjadi momen penting bagi masyarakat pesisir yang merayakannya.
Meskipun belum masuk dalam agenda pariwisata besar Jawa Tengah, Syawalan tetap menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar muara dan daerah lainnya di Kabupaten Demak. Selain itu, para wisatawan yang tertarik dengan tradisi lokal juga sering mengunjungi acara ini untuk mengenal lebih dekat budaya pesisir Demak.
Ketiga upacara yang diselenggarakan di Demak—Sekaten, Grebeg Besar, dan Syawalan—merupakan warisan budaya yang kaya akan makna sejarah, agama, dan sosial. Upacara Sekaten menjadi simbol penyebaran Islam di Jawa, Grebeg Besar mengandung nilai keagamaan dan kearifan lokal, serta Syawalan menggambarkan kedekatan masyarakat pesisir dengan alam. Meski berasal dari tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun, ketiganya tetap relevan dan terus dirayakan hingga kini, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Demak dan Jawa Tengah.