Square Enix kembali mengejutkan para penggemar lama seri action RPG yang dikembangkan oleh tri-Ace. Hal ini terasa istimewa, mengingat banyak yang merasa seri ini telah mencapai puncaknya dengan rilis Star Ocean: The Second Story di PlayStation pada tahun 1998. Sekuel dari game tersebut bahkan memiliki twist ending yang kontroversial dalam sejarah JRPG, membuat penggemar terbagi dan mengakibatkan game-game berikutnya sulit menorehkan dampak yang besar. Star Ocean: The Divine Force menjadi kesempatan bagi seri ini untuk memulai era baru—tentu saja jika game ini cukup sukses untuk menyelamatkan tri-Ace yang tengah berjuang. Meski demikian, The Divine Force merupakan petualangan action-RPG yang menyenangkan bagi penggemar genre ini, tetapi sayangnya masih terlalu terjebak di masa lalu, sehingga sulit dianggap sebagai langkah besar menuju masa depan.
Premis dan Gaya Penceritaan yang Menggugah Kenangan
Tri-Ace terbuka mengenai inspirasi mereka dari serial sci-fi klasik di luar dunia video game, terutama Star Trek, dalam menciptakan Star Ocean. Hal tersebut terasa pada premis The Divine Force yang menonjolkan elemen ini. Cerita dimulai ketika kapal dagang milik Kapten Raymond Lawrence diserang mendadak oleh kapal militer dari Pangalactic Federation. Ray berhasil melarikan diri ke planet terdekat yang “kurang berkembang” dan bertemu dengan Laeticia Aucerius, putri dari salah satu kerajaan besar di planet itu. Mereka sepakat untuk bekerja sama dalam menemukan kru kapal Ray yang selamat dan, di sisi lain, Ray akan membantu Laeticia menemukan seorang bijaksana yang bersembunyi, membawa mereka dalam petualangan yang jauh lebih besar.
Bagi mereka yang akrab dengan tropes dari Star Trek, The Divine Force bisa terasa seperti bermain dalam versi anime Star Trek. Ray, meskipun bukan bagian dari Federation, memiliki kepribadian yang mirip dengan Captain Kirk, sementara tangan kanannya, android bernama Elena, mengingatkan pada karakter Spock. Di awal cerita, tampak jelas adanya konflik terkait Planet Preservation Pact, aturan mirip Prime Directive dalam Star Trek, yang melarang perjalanan antariksa untuk mencampuri planet pra-warp. Namun, tema ini cepat memudar ketika Laeticia dan penduduk asli planet ini menerima berbagai hal baru tentang masyarakat antar-bintang tanpa banyak masalah. Di sisi lain, game ini juga membingungkan dalam penggambaran tingkat teknologi mereka, terutama saat mereka terkejut melihat senjata api sederhana setelah berhadapan dengan robot berkekuatan tinggi yang dibuat oleh seseorang dari planet ini.
Gameplay dan Eksplorasi: Petualangan yang Menyenangkan Namun Terbatas
Permainan dimulai dengan pilihan antara Ray dan Laeticia sebagai karakter utama. Pemilihan ini mempengaruhi perspektif cerita yang akan dilihat pemain, di mana keduanya bertemu sejak awal namun terkadang terpisah untuk sementara waktu, membuat pemain kehilangan setengah dari cerita yang hanya disampaikan secara tidak langsung. Ini memberikan motivasi untuk bermain ulang, meskipun hal ini bisa terasa seperti memotong alur cerita yang sudah mulai menarik.
Eksplorasi melibatkan perjalanan dalam lingkungan luas, kota, dan dungeon yang dalam. Desain lingkungan The Divine Force patut diacungi jempol, dengan pemandangan alam yang mengagumkan—hutan, ladang, dan pegunungan bersalju, dengan kilauan energi yang aneh membentang di langit. Kota-kotanya terasa hidup, dari kota pertambangan bertingkat yang menempel di sisi gunung hingga kota pelabuhan yang mengikuti alur garis pantai.
Salah satu fitur unik adalah D.U.M.A., bola alien yang meningkatkan kemampuan karakter untuk terbang, melompat melintasi celah, dan lainnya. Meski terasa canggung di awal karena sudut naiknya terbatas, setelah terbiasa, pemain akan lebih mudah mencari harta karun tersembunyi dan bahan yang dibutuhkan untuk upgrade D.U.M.A.
Pertarungan dan Mekanisme yang Cepat
Dalam pertempuran, D.U.M.A. memungkinkan pemain untuk melakukan serangan dengan meluncur ke musuh. Pemain juga dapat mengubah arah di tengah peluncuran, dan jika berhasil mengejutkan musuh, akan terjadi “blindside” yang meningkatkan damage. Sistem ini mengingatkan pada kelas Vanguard dalam seri Mass Effect.
Pemain dapat merancang serangan berantai yang membutuhkan AP, namun saat habis, karakter harus menunggu hingga AP terisi ulang, yang terasa menghambat. Setiap karakter memiliki AI yang mengatur tindakan mereka selama pertempuran, namun sayangnya opsi kontrolnya terbatas, terutama dalam pertarungan bos yang sulit.
Sistem yang Terasa Ketinggalan Zaman
Banyak mekanisme dalam The Divine Force yang terasa kurang matang atau terlalu tua untuk standar JRPG modern. Contohnya, Private Actions, sistem percakapan yang menjadi ciri khas Star Ocean yang dapat meningkatkan hubungan dan mempengaruhi akhir cerita, namun tanpa indikator yang jelas, membuat pencariannya terasa melelahkan.
Sistem skill juga kurang menarik, dengan sebagian besar meningkatkan statistik tanpa banyak efek berarti. Sistem ini bisa disederhanakan dengan hanya menyediakan skill yang diaktifkan dalam pertempuran.
Penutup yang Kurang Menggigit
The Divine Force tetap memberikan pengalaman bermain yang menghibur untuk sebagian besar dari durasi cerita utamanya yang sekitar 40 jam. Namun, pada babak terakhir, cerita lebih fokus pada dungeon yang monoton dan cutscene yang panjang. Meski narasi mencoba menggali filosofi kelompok tertentu, presentasinya terasa membingungkan.
Karakter yang likable dan akting suara yang cukup kuat mampu menarik pemain untuk melanjutkan hingga akhir cerita. Namun, temanya sering kali beralih dari eksplorasi ide-ide besar ke melodrama klise, dengan konflik yang cenderung digambarkan secara hitam-putih.
Star Ocean: The Divine Force bukanlah game yang buruk, namun terasa terperangkap dalam masa lalu, tidak mampu mengikuti kemajuan dalam era JRPG modern. Mereka yang mencari kenyamanan klasik JRPG akan menikmati elemen cerita yang familiar, pertarungan yang cepat, dan karakter yang menyenangkan. Bagi mereka yang tumbuh dengan JRPG era PlayStation 2, tedium yang tersemat dalam permainan ini mungkin terasa tidak begitu mengganggu.