1. Siraman Pusaka

Siraman pusaka merupakan tradisi membersihkan benda-benda pusaka yang disimpan oleh pihak keraton Yogyakarta. Kata siraman sendiri berasal dari bahasa jawa yaitu “siram” yang artinya “mandi”. Tradisi ini dilakukan satu tahun sekali yaitu pada bulan sura di hari selasa kliwon dan jum’at kliwon. Benda-benda tersebut antara lain yaitu tombak, keris, regalia, ampilan, panji-panji, gamelan hingga kereta. Benda pusaka tersebut biasanya dikenal sebagai “ngarsa dalem”. Tak hanya sakral benda-benda tersebut bahkan mempunyai nama.
Tradisi ini biasanya dilakukan selama dua hari dan bertempat di dalam dan di luar keraton serta bersifat tertutup. Beberapa pusaka bahkan dibersihkan secara pribadi oleh sultan dan keluarga sultan di tempat khusus di dalam keraton. Air yang digunakan pun bukan sembarangan air yaitu wajib menggunakan air kembang. Sisa air siraman pusaka ini biasanya dikais oleh masyarakat sebab dianggap sakral dan diharapkan akan mendatangkan berkah.
2. Upacara Labuhan parangkusumo
Tradisi ini merupakan tradisi leluhur warga Jogja yang dilaksanakan di gunung Merapi, gunung Lawu, Desa Dlepih serta pantai Parangkusumo. Tempat tersebut tidak dipilih secara acak melainkan memiliki nilai sejarah yang tinggi. Keempat tersebut pada zaman dahulu merupakan tempat pertapaan para sultan Mataram.
Kata labuhan berasal dari kata “labuh” yang merupakan serapan dari kata “laruh” yang artinya adalah membuang. Jadi upacara ini adalah dimaksudkan untuk membuang sesuatu ke dalam air atau sumber air.
Pelaksanaan tradisi ini berbeda-beda tergantung daerahnya. Di gunung merapi sesaji akan diletakkan di tengah gunung sedangkan di desa Dlepih, Wonogiri diletakkan di atas meja yang tersusun dari batu. Tidak seperti upacara adat lainnya yang diadakan setiap tahun, tradisi labuhan parangkusumo diadakan pada saat acara-acara tertentu seperti Penobatan Sultan, Ulang tahun penobatan Sultan atau Tingalan Panjenengan, serta peringatan hari “Windo” yaitu ulang tahun penobatan Sultan “Windon” yang diadakan setiap 8 tahun sekali.
3. Upacara Nguras Enceh
Upacara nguras enceh adalah upacara membersihkan gentong yang ada di makam para Raja di Jawa. Upacara ini dilakukan oleh warga Imogiri, Bantul, Yogyakarta setiap hari selasa kliwon dan jumat kliwon bulan Suro. Gentong yang akan dibersihkan ada 4 buah dimana masing-masing gentong memiliki nama dan asalnya masing-masing. Keempat gentong tersebut adalah gentong Kyai Danumaya yang berasal dari kerajaan Palembang, gentong Kyai Danumurti dari kerajaan Aceh, Kyai Mendung dari kerajaan Turki, dan Nyai Siyem yang berasal dari negeri gajah putih atau Thailand.
Setelah gentong dibersihkan sejumlah rombongan kemudian mengisi kembali gentong-gentong tersebut dengan air yang diambil dengan menggunakan siwur. Siwur adalah gayung tradisional yang terbuat dari batok kelapa. Siwur yang bawa berjumlah dua buah yang melambangk dua kerajaan Mataram Islam yaitu kesultanan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta.
Tradisi ini merupakan simbol untuk membersihkan diri dari hal-hal negatif. Upacara adat ini sudah berlangsung sejak kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang begitu disegani. Beliau berhasil menjalin hubungan diplomatik yang baik dengan kerajaan-kerajaan lainnya.
4. Upacara Rebo Pungkasan
radisi ini dilakukan oleh masyarakat Jogja yang berada di desa Wonokromo, Pleret, Bantul, Jogja. Upacara ini lebih dikenal oleh masyarakat lokal sebagai tradisi rebo wekasan yang mempunyai arti “rabbu terakhir”. Nama tersebut diambil dari waktu pelaksanaan dari upacara adat ini yang jatuh pada hari rabu terakhir pada bulan Sapar yaitu sistem penanggalan Jawa.
Tradisi ini berdasarkan catatan sejarah sudah hadir sejak tahun 1784 silam. Upacara ini berawal dari seorang tokoh masyarakat bernama mbah kyai Faqih Usman. Kabarnya beliau mampu menyembuhkan segala penyakit dengan menggunakan ayat-ayat suci Al-quran yang dibacakan pada air yang akan diminum oleh penderita. Metode Mbah KyaI Faqih Usman inilah yang digunakan pada saat desa Wonokromo terserang Pagebluk.
Masyarakat semakin ramai mendatangi Mbah Kyai dan akhirnya memutuskan untuk mendoakan air di telaga agar dapat diambil oleh masyarakat. Keramaian inipun dimanfaatkan oleh para pedagang untuk mengais rezeki. Oleh sebab itulah pada malam sebelum tradisi ini digelar pasar malam dadakan. Sedangkan dipilihnya hari terakhir pada bulan Sapar yaitu hari tersebut merupakan hari dimana Mbah Kyai dan Sultan Hamengkubuwono I bertemu.
5.Upacara Kupatan Jolosutro
Upacara kupatan jolosutro merupakan tradisi yang rutin dilakukan setiap tahun oleh masyarakat Jolosutro, Bantul, Yogyakarta. Tradisi ini dipercaya sudah ada sejak zaman sunan Geseng masih hidup yaitu seseorang yang sangat berpengaruh di dusun tersebut. Tujuan dari diadakannya tradisi ini adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberi keselamatan dan kesejahteraan bagi manusia.
Pada zaman dahulu masyarakat Jolosutro selalu mengadakan rasulan setiap kali musim panen. Acara tersebut selalu mengundang banyak tamu dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat biasa hingga keluarga keraton. Melihat banyaknya orang yang datang maka masyarakat Jolosutro menjamu mereka dengan makanan. Maka dipilihlah kupat atau ketupat lengkap dengan lauk pauknya.
Ketupat yang ada dalam upacara kupatan Jolosutro berbeda dengan ketupat lainnya. Ketupat tersebut dibungkus dengan daun gebang dengan ukuran hingga mencapai 365×35 cm.